Gak
tahu judul
ch:1
"tch... apa maumu?" dia memulai
pembicaraan dengan nada tinggi
"sederhana" jawabku simpel
"cepatlah, kau membuang-buang
waktuku" intonasi suaranya menurun, seperti terompet yang kehabisan
kekuatan tiup.
"aku pinjam buku itu"
"astaga! kau serius"
"lebih dari serius"
"kau sudah gila?" nada suaranya
terdengar kasar
"lebih dari gila" jawabku datar
"baiklah, aku mengerti, tapi untuk apa
itu?" suaranya rendah lagi
kepalaku menengok
ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang selain kami berdua.
"aku akan menembaknya akhir pekan
ini" jawabku sambil memperbaiki kacamataku yang sudah mulai kendor di
hidung
"baiklah, datanglah kerumahku besok
sore" dia menghela nafas sebentar, lalu meninggalkanku sendiri dibawah
pohon rindang di halaman sekolah. aku pun duduk di bangku yang ada di sekitar
situ. langit muali berwarna oranye, maka aku membuka hpku untuk melihat jam.
"16:38" itulah yang tertunjuk di
hpku
sudah sesore ini,
ya. baiklah aku akan pulang ke rumah. bukan, bukan rumah, tepatnya kos-kosan
tempatku hidup sehari-hari.
Namaku **** ***** aku masih kelas 11 SMA.
orangtua ku, bukan, mantan orangtuaku menelantarkanku di kota ini. tempat
mereka mengucap janji suci, dan tempat mereka malanggar janji tersebut. ya,
cerai. aku sudah tidak dianggap lagi anak oleh mereka. untungnya mereka
mengirimiku uang bulanan. meskipun sangat tidak wajar untuk menghidupi diriku
sendiri. aku menutupnya dengan berkerja paruh waktu di sebuah toko buku.
tempatku bertemu pertama kali dengannya.
hari itu
"datang kembali, ya" aku mencoba
ramah kepada pelanggan toko buku yang ingin pergi. meski hatiku sangat tidak
ingin melakukan pekerjaan ini. mau bagaimana lagi, hanya pekerjaan ini yang
membuatku dapat membayar SPP. ya, aku bekerja sebagai penyambut di depan pintu
toko buku ini
“selamat datang!” aku
mencoba terus ramah, meski disini sangat panas, rasanya ingin cepat pulang, dan
mandi hingga air se-torrent habis.
“184” gumamku pelan.
Aku suka menghitung banyaknya pengunjung masuk tiap hari. Biasanya berkisar
antara 150 – 200, tapi hari libur bisa mencapai 500
“hoy ****.” Seseorang
memanggilku. Aku refleks menghadapkan wajahku ke asal suara. Itu adalah ******.
Seniorku di tempat kerjaku.
“napa?” tanyaku singkat
“nih” katanya sambil
menyodorkan sepucuk kertas padaku
“hah! Ini....” mataku
terbalak seolah-olah tidak percaya dengan kertas yang ia bawa
“ya, selamat ya...
ajuan cuti mu diterima” kata ****** sambil tersenyum padaku
Akupun bersorak sorak
kencang, tidak peduli beberapa orang menatapku seperti menatap orang gila. Aku
pun langsung masuk ke toko menuju ruangan yang di pintunya bertuliskan ‘staff
only’,lalu mengambil seluruh barangku yang ku taruh di sana. Ajuan cuti untuk
ujian sekolah ternyata diterima. Biasanya orang lain akan diwawancarai
habis-habisan terlebih dahulu oleh pak bos.
“aku permisi duluan,
ya..” pamitku pada rekan kerja yang lain, yang berada di dalam ruang staff.
Sambil membawa barang-barangku di tas, aku pergi keluar ruangan dengan penuh
rasa senang. Aku melewati rak-rak buku yang tersusun bagaikan labirin. Aku
melewati berbagai jenis rak buku. Semuanya terlihat biasa saja. Kecuali di
sektor komik. Aku menghentikan langkah gembiraku. Memang disana selalu ramai.
Tapi, aku menatap sosok lain. Sosok itu memakai seragam sekolah yang sama
dengan yang ada di dalam tas ku sekarang. Berarti dia satu sekolah denganku.
Rambutnya yang hanya sebahu dan wajahnya yang tenang Membuatku nyaman
melihatnya. Aku baru ingat, sekolahku menggunakan dasi untuk laki-laki dan pita
untuk anak perempuan dengan warna yang berbeda di tiap kelasnya. Aku pun
melihat pita yang menjuntai di bawah lehernya. Warnanya biru. Astaga, dia
seangkatan denganku!
“yo! Bengong aja? Napa? Kok, Gak langsung pulang?” sapaan
****** membuyarkan lamunanku.
“eh, oh eng- enggak
papa kok. Ini aku mau pulang” sambil menyerongkan sedikit bahuku agar dia bisa
melihat tasku dengan jelas
“ya,sudahlah. kalau
begitu, Selamat berlibur dan selamat berjuang di ujian sekolahmu”
Aku tertawa sebentar “makasih ***!” ****** pun meninggalkanku.
Ia tidak punya banyak waktu untuk bercanda denganku. Dia orangnya sangat sibuk.
Aku melihat perempuan itu lagi. Andai saja aku dapat melihatnya lebih lama
lagi. Ketika aku masih melihatnya, ia merasa diperhatikan, dan menengok ke
arahku. Aku langsung memalingkan muka,dan langsung buru-buru pergi meninggalkan
toko buku ini.
=++++++++++++++++++++=
“baik anak-anak, kita
mulai pelajaran matematikanya!” kata bu ****, selaku guru matematika di
kelasaku. Dia memang riang, tapi apa dia tahu kalau anak SMA rata-rata benci
sama Matemtika? Atau ia tahu tapi mencoba membuat matematika terasa begitu
menyenangkan? Tetap saja, aku pun memalingkan muka ke arah jendela yang memberi
tontonan tentang lapangan yang terus terguyur hujan. Beberapa guyurannya jatuh
mengenai jendela, lalu turun seperti cacing yang sedang berbalapan secara
vertikal. Suara bu **** terdengar samar-samar, mungkin karena aku terlalu asik
dengan khayalanku sendiri. Tanpa sadar kacamataku mulai berembun. Aku yang
merasa terganggu dengan adanya embun, terpaksa membuyarkan lamunan tentang
hujan, dan melepas kacamata untuk melapnya.
karena terlihat sedang kesal
sendiri, seisi kelas menatapku seperti melihat orang gila yang sudah kehabisan
bius.
“ada apa *****?” bu **** menenyakan diriku,
perwakilan dari seluruh pertanyaan yang ditahan siswa sekelas.
“a-anu... kacamata saya berembun, jadi
pengelihatan saya terganggu” diriku mencoba menjelaskan.
“oh, begitu” lalu dia melanjutkan pelajaran.
Aku kembali menyibukkan
diriku ke dalam khayalanku sendiri.
**&*&**
‘kriiiing’
bunyi bel istirahat berbunyi. Seisi kelas bersorak kesenangan. Tidak peduli
bahwa guru matematika mereka masih ada didepan, yang hanya bisa menggelengkan
kepalanya melihat kelakuan anak didiknya. Setelah salam penutup, seisi kelas
langsung berhamburan keluar. Kemana lagi selain kantin?
Aku pun menutup buku yang kujadikan
‘pelindung’ agar dikira belajar. Lalu mengeluarkan hp yang sudah agak
ketinggalan jaman. Tapi, seenggaknya ini hp, kan?
Lalu, aku mengutak ngatik
hpku sambil tertawa sendiri
“yo! *****. Gak makan?”
ah, suara ini, sudah pasti ***.
“duluan aja” aku sama
sekali tidak menoleh kepadanya
“ah, ayolah” dia
memaksaku dengan mengambil hpku dari genggaman, lalu melihat isinya
“ah, jangan!” aku
melarangnya, tapi sudah terlambat. Matanya terayun kesana kemari, melihat apa
yang ditampilkan hpku
Dalam hitungan detik,
rahasiaku akan terungkap hingga akar-akarnya. Dalam hati aku sudah mengutuknya
berkali-kali dan membayangkan kalau membunuh dirinya dengan apapun yang ada
disekitarku.
“oh, ternyata pecinta
novel romantis komedi jepang ya?”katanya sambil mengutak-atik hpku
Sial. Kenapa harus
keras-keras? Untungnya kelas ini sepi. Kalau tidak, mungkin saja sapu
inventaris kelas sudah kujadikan tombak.
“tenang saja. Ini hal
yang wajar” dia berkata seolah-olah bisa membaca pikiranku. Entah kenapa
rasanya malah jadi menyeramkan.
“cepat balikin hpku!” aku
langsung menyambar hpku yang ada di genggamannya. Dan langsung berdiri dari
kursi, lalu berjalan keluar tanpa menatap *** lagi yang mungkin merasa
bersalah.
Ya, setidaknya aku dapat menghilangkan penat
setelah pelajaran matematika- yang bahkan selama pelajaran aku tidak memandang
papan tulis sama sekali- dengan istirahat ini
Aku lebih memilih membeli
minum diluar pagar sekolah (dengan alasan finansial tentunya), dan meminumnya
disana. Aku selalu menghabiskan waktu istirahatku disana. Hingga tibalah aku
disana, dan memesan satu es teh.
Entah, rasanya damai
disini.
“yo, *****” ah, suara
ini. Akan kutarik kata ‘damai’ku barusan.
“apa lagi, ***?” aku
tidak peduli dengan nada ucapanku yang kasar.
“ti-tidak apa apa. Tadi aku
hanya lihat kamu keluar pagar sekolah. Jadi, aku mengikutimu”
“kenapa harus ikut aku? Kau,
kan punya perkumpulan sendiri disana.” Kataku sambil menunjuk kerumunan orang
yang ada di dalam pagar sekolah.
“terkadang, aku juga
bosan berada dalam keramaian. Jadi, aku memutuskan untuk menghindar beberapa
saat” senyum di wajahnya perlahan hilang, lalu ia menundukkan kepalanya.
oh, bahkan orang populer
di kalangan siswi pun bisa bosan
“tapi, gak pesen minum
dulu apa?”
“eh? Ah, ya.” Dia pun
mengacungkan jari sebagai untuk memanggil penjaga toko.
Dia pikir ini cafe?
“oh, ya? Bagaimana pendekatan
mu dengan si **** ?” aku hampir menyemburkan isi mulutku.
“ba-bagaimana kau bisa
tahu?”
“aku melihatmu memperhatikannya
di toko buku”
Ah, sial.
gimana mau pendekatan? Kenal
namanya saja 3 hari yang lalu. Padahal ia cukup populer disekolah.
“a-aku...”
“hoi, ***. Jadi kamu
disini? Ya ampun.. dicariin dari tadi juga. Dan, kenapa kau bersama orang itu?”
tatapannya terarah padaku. Pandangan yang merendahkan.
cewe itu... ah, aku kenal
dia.. ****** dari kelas yang sama denganku. Kalau gak salah, dia dijuluki ratu
gosip yang (sok) punya harga diri yang tinggi.
“lalu kenapa? Aku juga
tidak memintannya. Dia sendiri yang datang.” Rasanya aku ingin meminjam sendok
teh kepada pemilik warung ini untuk menusuk matanya yang terus memandang rendah
diriku.
“hey, sudah, sudah.. ayo ******.
Kita pergi.“ cewe itu menuruti perkataannya ***. Tapi iya masih menatapku
dengan rendah. Hingga akhirnya tatapan itu hilang di balik pagar sekolah.
Tinggal aku sendiri
disini. Menghabiskan masa ‘damai’ ini.
Aku pun sudah berjalan dua tiga langkah dari warung.
“hoy, bang!!” suara orang
itu berasal dari dalam warung.
aku reflek menoleh. Ternyata
penjaga warung.
“ada apa? Bukankah aku
sudah bayar?”
“bukan, teman abang yang
tadi belum bayar minumnya.” Aku pun ber-oh sebentar sebelum akhirnya membuka
dompet untuk mengambil selembar uang.
Keparat tuh orang.
$%^^%$