Rabu, 01 Juni 2016

Apa? (CH1)

Gak tahu judul
ch:1
 "tch... apa maumu?" dia memulai pembicaraan dengan nada tinggi
 "sederhana" jawabku simpel
 "cepatlah, kau membuang-buang waktuku" intonasi suaranya menurun, seperti terompet yang kehabisan kekuatan tiup.
 "aku pinjam buku itu"
 "astaga! kau serius"
 "lebih dari serius"
 "kau sudah gila?" nada suaranya terdengar kasar
 "lebih dari gila" jawabku datar
 "baiklah, aku mengerti, tapi untuk apa itu?" suaranya rendah lagi
kepalaku menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang selain kami berdua.
 "aku akan menembaknya akhir pekan ini" jawabku sambil memperbaiki kacamataku yang sudah mulai kendor di hidung
 "baiklah, datanglah kerumahku besok sore" dia menghela nafas sebentar, lalu meninggalkanku sendiri dibawah pohon rindang di halaman sekolah. aku pun duduk di bangku yang ada di sekitar situ. langit muali berwarna oranye, maka aku membuka hpku untuk melihat jam.
 "16:38" itulah yang tertunjuk di hpku
sudah sesore ini, ya. baiklah aku akan pulang ke rumah. bukan, bukan rumah, tepatnya kos-kosan tempatku hidup sehari-hari.

 Namaku **** ***** aku masih kelas 11 SMA. orangtua ku, bukan, mantan orangtuaku menelantarkanku di kota ini. tempat mereka mengucap janji suci, dan tempat mereka malanggar janji tersebut. ya, cerai. aku sudah tidak dianggap lagi anak oleh mereka. untungnya mereka mengirimiku uang bulanan. meskipun sangat tidak wajar untuk menghidupi diriku sendiri. aku menutupnya dengan berkerja paruh waktu di sebuah toko buku. tempatku bertemu pertama kali dengannya.

hari itu

 "datang kembali, ya" aku mencoba ramah kepada pelanggan toko buku yang ingin pergi. meski hatiku sangat tidak ingin melakukan pekerjaan ini. mau bagaimana lagi, hanya pekerjaan ini yang membuatku dapat membayar SPP. ya, aku bekerja sebagai penyambut di depan pintu toko buku ini
 “selamat datang!” aku mencoba terus ramah, meski disini sangat panas, rasanya ingin cepat pulang, dan mandi hingga air se-torrent habis.
 “184” gumamku pelan. Aku suka menghitung banyaknya pengunjung masuk tiap hari. Biasanya berkisar antara 150 – 200, tapi hari libur bisa mencapai 500
 “hoy ****.” Seseorang memanggilku. Aku refleks menghadapkan wajahku ke asal suara. Itu adalah ******. Seniorku di tempat kerjaku.
 “napa?” tanyaku singkat
 “nih” katanya sambil menyodorkan sepucuk kertas padaku
 “hah! Ini....” mataku terbalak seolah-olah tidak percaya dengan kertas yang ia bawa
 “ya, selamat ya... ajuan cuti mu diterima” kata ****** sambil tersenyum padaku
 Akupun bersorak sorak kencang, tidak peduli beberapa orang menatapku seperti menatap orang gila. Aku pun langsung masuk ke toko menuju ruangan yang di pintunya bertuliskan ‘staff only’,lalu mengambil seluruh barangku yang ku taruh di sana. Ajuan cuti untuk ujian sekolah ternyata diterima. Biasanya orang lain akan diwawancarai habis-habisan terlebih dahulu oleh pak bos.
 “aku permisi duluan, ya..” pamitku pada rekan kerja yang lain, yang berada di dalam ruang staff. Sambil membawa barang-barangku di tas, aku pergi keluar ruangan dengan penuh rasa senang. Aku melewati rak-rak buku yang tersusun bagaikan labirin. Aku melewati berbagai jenis rak buku. Semuanya terlihat biasa saja. Kecuali di sektor komik. Aku menghentikan langkah gembiraku. Memang disana selalu ramai. Tapi, aku menatap sosok lain. Sosok itu memakai seragam sekolah yang sama dengan yang ada di dalam tas ku sekarang. Berarti dia satu sekolah denganku. Rambutnya yang hanya sebahu dan wajahnya yang tenang Membuatku nyaman melihatnya. Aku baru ingat, sekolahku menggunakan dasi untuk laki-laki dan pita untuk anak perempuan dengan warna yang berbeda di tiap kelasnya. Aku pun melihat pita yang menjuntai di bawah lehernya. Warnanya biru. Astaga, dia seangkatan denganku!
“yo! Bengong aja? Napa? Kok, Gak langsung pulang?” sapaan ****** membuyarkan lamunanku.
 “eh, oh eng- enggak papa kok. Ini aku mau pulang” sambil menyerongkan sedikit bahuku agar dia bisa melihat tasku dengan jelas
 “ya,sudahlah. kalau begitu, Selamat berlibur dan selamat berjuang di ujian sekolahmu”
Aku tertawa sebentar “makasih ***!” ****** pun meninggalkanku. Ia tidak punya banyak waktu untuk bercanda denganku. Dia orangnya sangat sibuk. Aku melihat perempuan itu lagi. Andai saja aku dapat melihatnya lebih lama lagi. Ketika aku masih melihatnya, ia merasa diperhatikan, dan menengok ke arahku. Aku langsung memalingkan muka,dan langsung buru-buru pergi meninggalkan toko buku ini.
=++++++++++++++++++++=

 “baik anak-anak, kita mulai pelajaran matematikanya!” kata bu ****, selaku guru matematika di kelasaku. Dia memang riang, tapi apa dia tahu kalau anak SMA rata-rata benci sama Matemtika? Atau ia tahu tapi mencoba membuat matematika terasa begitu menyenangkan? Tetap saja, aku pun memalingkan muka ke arah jendela yang memberi tontonan tentang lapangan yang terus terguyur hujan. Beberapa guyurannya jatuh mengenai jendela, lalu turun seperti cacing yang sedang berbalapan secara vertikal. Suara bu **** terdengar samar-samar, mungkin karena aku terlalu asik dengan khayalanku sendiri. Tanpa sadar kacamataku mulai berembun. Aku yang merasa terganggu dengan adanya embun, terpaksa membuyarkan lamunan tentang hujan, dan melepas kacamata untuk melapnya.
 karena terlihat sedang kesal sendiri, seisi kelas menatapku seperti melihat orang gila yang sudah kehabisan bius.

 “ada apa *****?” bu **** menenyakan diriku, perwakilan dari seluruh pertanyaan yang ditahan siswa sekelas.
 “a-anu... kacamata saya berembun, jadi pengelihatan saya terganggu” diriku mencoba menjelaskan.
 “oh, begitu” lalu dia melanjutkan pelajaran.
Aku kembali menyibukkan diriku ke dalam khayalanku sendiri.
**&*&**
 ‘kriiiing’ bunyi bel istirahat berbunyi. Seisi kelas bersorak kesenangan. Tidak peduli bahwa guru matematika mereka masih ada didepan, yang hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan anak didiknya. Setelah salam penutup, seisi kelas langsung berhamburan keluar. Kemana lagi selain kantin?
 Aku pun menutup buku yang kujadikan ‘pelindung’ agar dikira belajar. Lalu mengeluarkan hp yang sudah agak ketinggalan jaman. Tapi, seenggaknya ini hp, kan?
Lalu, aku mengutak ngatik hpku sambil tertawa sendiri
“yo! *****. Gak makan?” ah, suara ini, sudah pasti ***.
“duluan aja” aku sama sekali tidak menoleh kepadanya
“ah, ayolah” dia memaksaku dengan mengambil hpku dari genggaman, lalu melihat isinya
“ah, jangan!” aku melarangnya, tapi sudah terlambat. Matanya terayun kesana kemari, melihat apa yang ditampilkan hpku
Dalam hitungan detik, rahasiaku akan terungkap hingga akar-akarnya. Dalam hati aku sudah mengutuknya berkali-kali dan membayangkan kalau membunuh dirinya dengan apapun yang ada disekitarku.
“oh, ternyata pecinta novel romantis komedi jepang ya?”katanya sambil mengutak-atik hpku
Sial. Kenapa harus keras-keras? Untungnya kelas ini sepi. Kalau tidak, mungkin saja sapu inventaris kelas sudah kujadikan tombak.
“tenang saja. Ini hal yang wajar” dia berkata seolah-olah bisa membaca pikiranku. Entah kenapa rasanya malah jadi menyeramkan.
“cepat balikin hpku!” aku langsung menyambar hpku yang ada di genggamannya. Dan langsung berdiri dari kursi, lalu berjalan keluar tanpa menatap *** lagi yang mungkin merasa bersalah.
 Ya, setidaknya aku dapat menghilangkan penat setelah pelajaran matematika- yang bahkan selama pelajaran aku tidak memandang papan tulis sama sekali- dengan istirahat ini
Aku lebih memilih membeli minum diluar pagar sekolah (dengan alasan finansial tentunya), dan meminumnya disana. Aku selalu menghabiskan waktu istirahatku disana. Hingga tibalah aku disana, dan memesan satu es teh.
Entah, rasanya damai disini.
“yo, *****” ah, suara ini. Akan kutarik kata ‘damai’ku barusan.
“apa lagi, ***?” aku tidak peduli dengan nada ucapanku yang kasar.
“ti-tidak apa apa. Tadi aku hanya lihat kamu keluar pagar sekolah. Jadi, aku mengikutimu”
“kenapa harus ikut aku? Kau, kan punya perkumpulan sendiri disana.” Kataku sambil menunjuk kerumunan orang yang ada di dalam pagar sekolah.
“terkadang, aku juga bosan berada dalam keramaian. Jadi, aku memutuskan untuk menghindar beberapa saat” senyum di wajahnya perlahan hilang, lalu ia menundukkan kepalanya.
oh, bahkan orang populer di kalangan siswi pun bisa bosan
“tapi, gak pesen minum dulu apa?”
“eh? Ah, ya.” Dia pun mengacungkan jari sebagai untuk memanggil penjaga toko.
Dia pikir ini cafe?
“oh, ya? Bagaimana pendekatan mu dengan si **** ?” aku hampir menyemburkan isi mulutku.
“ba-bagaimana kau bisa tahu?”
“aku melihatmu memperhatikannya di toko buku”
Ah, sial.
gimana mau pendekatan? Kenal namanya saja 3 hari yang lalu. Padahal ia cukup populer disekolah.
“a-aku...”
“hoi, ***. Jadi kamu disini? Ya ampun.. dicariin dari tadi juga. Dan, kenapa kau bersama orang itu?” tatapannya terarah padaku. Pandangan yang merendahkan.
cewe itu... ah, aku kenal dia.. ****** dari kelas yang sama denganku. Kalau gak salah, dia dijuluki ratu gosip yang (sok) punya harga diri yang tinggi.
“lalu kenapa? Aku juga tidak memintannya. Dia sendiri yang datang.” Rasanya aku ingin meminjam sendok teh kepada pemilik warung ini untuk menusuk matanya yang terus memandang rendah diriku.
“hey, sudah, sudah.. ayo ******. Kita pergi.“ cewe itu menuruti perkataannya ***. Tapi iya masih menatapku dengan rendah. Hingga akhirnya tatapan itu hilang di balik pagar sekolah.
Tinggal aku sendiri disini. Menghabiskan masa ‘damai’ ini.
Aku pun  sudah berjalan dua tiga langkah dari warung.
“hoy, bang!!” suara orang itu berasal dari dalam warung.
aku reflek menoleh. Ternyata penjaga warung.
“ada apa? Bukankah aku sudah bayar?”
“bukan, teman abang yang tadi belum bayar minumnya.” Aku pun ber-oh sebentar sebelum akhirnya membuka dompet untuk mengambil selembar uang.
Keparat tuh orang.
$%^^%$